Halo Sahabat Wanagama!
Kembali lagi dengan update mingguan “Tahukah kamu” Website Wanagama!
Kemarin kita sudah mempelajari banyak tanaman, kali ini kita akan mempelajari tentang hewan yang dulu pernah berjasa dalam pembangunan Wanagama. Ada yang tau??? Yap, ULAT SUTERA. Si kecil yang mahal ini menjadi salah satu agen perintis Hutan Wanagama loh! Bagaimana bisa? Yuk ikuti penjelasan kali ini
Sebelum kita cerita tentang sejarah Ulat Sutera di Wanagama, alangkah baiknya kita kenalan dulu nih dengan Ulat Sutera secara general.
Ulat Sutera (Bombyx mori L.) merupakan salah satu jenis serangga yang dapat menghasilkan benang dengan kualitas yang sangat baik yang kemudian diolah menjadi salah satu kain unggulan yang sangat berkelas, yaitu kain sutera. Diketahui bahwa ulat sutera merupakan komoditas yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa negara dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri maupun diluar negeri, baik berupa kokon, benang maupun barang jadi yakni kain sutera. Persuteraan alam merupakan salah satu upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, serta merupakan salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan daya dukung dan produktivitas lahan terutama pada lahan-lahan yang belum optomal dimanfaatkan. Keberhasilan budidaya ulat sutera sangat bergantung pada kondisi tanaman murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutera. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup, ulat sutera tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini tentu akan berpengaruh pada jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan.
Ulat sutera merupakan famili Bombycidae yang memiliki siklus hidup metamorfosa sempurna mulai dari larva, pupa, sampai dengan kupu-kupu. Telurnya berbentuk bulat lonjong, dengan panjang ±1,3 mm, lebarnya 1 mm, dan tebalnya 0,5 mm berwarna putih kekuning-kuningan. Telur ulat sutera biasanya menetas dalam 10 hari setelah perlakuakn khusus pada suhu 25 °C dan kelembaban udara 80 – 85%. Telur ulat diletakan pada tempat yang datar dan disebar secara merata di kotak penetasan. Pada kotak tersebut dipasang kasa/kertas putih tipis. Apabila pada telur tersebut sudah mulai nampak telur yang berwarna transparan dan terlihat titik biru, maka diadakan perlakuan penutupan telur dengan kain berwarna hitam/gelap (umunya 1-2 hari). Tujuan adanya perlakuan penggelapan tersebut agar telur menetas secara merata dan dalam waktu yang relative bersamaan. Setelah 80-90% telur sudah terlihat transparan dan terdapat titik biru, maka kain hitam tersebut dibuka sampai seluruh telur menetas sempurna.
Ulat sutera memiliki 5 intisar, yaitu ulat kecil (intisar I, II, dan III) dan ulat besar (intisar IV dan V). Ulat kecil berumur ±12 hari membutuhkan pemeliharaan yang intensif baik dari kelembapan maupun temperatur ruangan, ulat kecil mampu tahan pada suhu 28 – 30 °C dan kelembaban udara 90 – 95%. Ulat yang baru keluar dari telur kelihatan kecil kehitam-hitaman atau coklat gelap dengan kepala besar, serta badannya masih tertutup rambut. Pada fase ini ulat sudah bisa diberi makan irisan tipis daun murbei muda. Pada hari kedua, tubuhnya menjadi gemuk, warnanya kehijau-hijauan dan rambutnya seolah-olah rontok. Setelah itu, ulat akan berhenti makan untuk memasuki masa istirahat dan diakhiri dengan pergantian kulit. Fase diatas disebut dengan instar I. Setelah berganti kulit, larva ulat mulai memasuki instar II dan selanjutnya memasuki instar III yang biasanya didahului masa istirahat dan berganti kulit. Lama tiap instar tidak sama, pada umumnya masa yang terpendek ialah instar II, I dan III dengan masa istirahat lebih kurang satu hari. Peralihan tiap instar ditandai dengan berhentinya makan (ulat istirahat) dan terjadinya pergantian kulit.
Ulat besar berumur ±13 hari namin pada lokasi dengan kelembaban rendah membuat umur ulat relatif panjang. Dalam fase ini, diperlukan pemeliharaan yang intensif dengan pemberian daun dalam jumlah banyak yang diberikan 4 kali sehari, dengan pemberian pola pakan terus menerus sampai malam hari dapat menaikan produksi kokon sampai dengan 20 – 25%, hal ini karena prosentase daun yang dimakan ulat sutera pada malam hari lebih banyak. Ulat besar membutuhkan suhu antara 23 – 25 °C dengan kelembaban udara antara 70 – 75%. Pada instar IV umur ulat 4 – 5 hari, sedangkan pada instar V umur ulat 6 – 7 hari. Pada akhir instar V sudah tidak terjadi pergantian kulit, tubuh ulat terlihat transparan dan ulat berhenti makan. Setelah fase ulat besar berakhir, ulat akan membentuk kokon (ulat sudah matang).
Periode hidup dari telur menetas hingga proses pembuatan kokon memakan waktu kurang lebih 1 bulan. Selanjutnya, fase pupa terjadi setelah ulat selesai mengeluarkan serat sutera, lama masa pupa ± 12 hari. Pupa jantan memiliki titik pada ruas ke 9, sedangkan pupa betina terdapat tanda silang (x) pada ruas ke 8. Ulat memulai proses pembuatan kokon dengan mengeluarkan serat sutera yang dihasilkan oleh kelenjar sutera (silk gland) yang berada di mulut larva ulat. Pemanenan kokon ulat sutera dilakukan sebelum kupu keluar dari ujung kepompong.
Pemanenan kokon dilakukan 6 – 7 hari setelah terjadi proses pembentukan kokon. Panen kokon yang terlalu awal dapat merusak pupa yang masih muda yang berakibat kokon dapat membusuk dan menimbulkan kokon cacat pintal (inside soiled cocoon). Sebaliknya, jika kokon terlambat dipanen, pupa sudah berubah menjadi kupu-kupu yang akan menerobos kulit kokon, sehingga tidak dapat dipintal pada tahap pemanenan. Selanjutnya, seleksi kokon dilakukan untuk menentukan kualitas kokon dan berpengaruh pada harga kokon. Seleksi ini bertujuan untuk memisahan kokon normal dan kokon cacat (kokon dobel, kokon tipis, kokon berlubang, bentuk tidak normal, kokon pipih, dan kokon kotor). Setelah proses seleksi, kokon dikeringkan dengan cara pengovenan pada suhu 90 °C selama 2 jam, kemudia 75 °C selama 1,5 jam dan suhu 55 °C selama 2,5 jam. Pengeringan kokon dilakukan sampai harus betul-betul kering, sehingga beratnya kira-kira hanya tinggal 40% dari berat kokon basah (fresh cocoon).
Oke selanjutnya kita akan menceritakan sejarah persuteraan di Hutan Wanagama.
Tokoh yang mengusulkan kegiataan persuteraan alam di Wanagama adalah Bapak Soedjarwo dan Bapak Soedarwono, serta tidak lepas dari Ibu Oemi Hani’in Soeseno. Awal mula pengusulan kegiatan ini dengan memelihara ulat sutera dan menanam murbei (Morus sp.) yang berlokasi di petak 5. Daun murbei yang menjadi pakan ulat sutera termasuk dalam tanaman yang cepat dipanen (fast growing species). Ulat sutera pun cepat menghasilkan kokon atau benang ulat sutera yang bernilai tinggi (quick yielding project).
Berawal dari hibah ulat sutera yang diberikan oleh Dinas Kehutanan, sampai memecahkan masalah lahan kritis di Gunung Kidul. Budidaya 30.000 ekor ulat sutera tersebut memerlukan pakan daun murbei setiap harinya. Masa panen murbei dan pertumbuhan ulat sutera cepat dan pesat. Diawali dengan telur ulat sutera yang menetas setelah 10 hari. Bayi-bayi ulat putih tak berbulu terus- menerus bertumbuh memakan daun murbei selama 22 – 25 hari. Ulat sutera dipelihara diatas nampan-nampan dari anyaman bambu (tampah). Dimasa ini Bapak Soekotjo kewalahan dalam mengurusnya sehingga Ibu Oemi ikut turun tangan mengasuh ulat-ulat yang makan dengan serakah itu.
Yang menjadi kebanggan pada Presiden Sukarno, nama Bapak Soedjarwo kian naik karena keberhasilan persuteraan alam yang ada di Wanagama. Hingga bendera merah putih yang dijahit Ibu Fatmawati dibuat dari benang sutera alam yang dipersembahkan Soedjarwo. Sejak saat itu, Wanagama mendapatkan sebutan Cikal Bakal Sutera Alam di Hutan. Dan Wanama juga dikenal dunia sebagai percobaan rehabilitasi lahan dan lingkungan, puncaknya adalah kunjungan Pangeran Charles pada tahun 1989.
Namum kejayaan merbei di petak 5 hanya bertahan dari tahun 1968 – 1969. Selanjutnya pembelukaran muali dilakukan, sehingga penanaman murbei sebagai pakan ulat sutera hanya dibatasi hingga akhirnya tanaman murbei tidak lagi dibudidayakan di Wanagama. Hal ini disebabkan soil vertility di Wanagama mengkibatkan tanaman murbei tidak tumbuh secara maksimal. Selanjutnya Bapak Na’iem melakukan riset ulat sutera dengan tujuan mengambangkan ulat sutera di wilayah yang cocok, bahkan ada perusahaan pemintalan di bawah struktur lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (P3BPTH). Sejak tahun 2017 tidak ada lagi pembibitan ulat sutera di Wanagama.