• UGM
  • FAKULTAS KEHUTANAN UGM
  • IT CENTER
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Hutan Pendidikan dan Pelatihan Wanagama I
Universitas Gadjah Mada
  • home
  • Wanagama
    • Profil WG
    • Visi & Misi Organisasi
    • Sejarah
    • Roadmap
    • Struktur Pengurus
    • Staff lapangan
    • Fasilitas & Sarana Prasarana
  • Agenda WG
  • Kabar Wanagama
    • Penelitian Wanagama
    • Peristiwa
    • Pelatihan
  • Galeri
  • Arsip
  • Hubungi Kami
    • Kontak
    • Reservasi
  • Sahabat Wanagama
  • Beranda
  • Kabar wanagama
  • Tahukah Kamu?
Arsip:

Tahukah Kamu?

Si Kecil yang Bernilai Tinggi, Ulat Sutera

Tahukah Kamu? Friday, 4 November 2022

Halo Sahabat Wanagama!

Kembali lagi dengan update mingguan “Tahukah kamu” Website Wanagama!

Kemarin kita sudah mempelajari banyak tanaman, kali ini kita akan mempelajari tentang hewan yang dulu pernah berjasa dalam pembangunan Wanagama. Ada yang tau??? Yap, ULAT SUTERA. Si kecil yang mahal ini menjadi salah satu agen perintis Hutan Wanagama loh! Bagaimana bisa? Yuk ikuti penjelasan kali ini

Sebelum kita cerita tentang sejarah Ulat Sutera di Wanagama, alangkah baiknya kita kenalan dulu nih dengan Ulat Sutera secara general.

Ulat Sutera (Bombyx mori L.) merupakan salah satu jenis serangga yang dapat menghasilkan benang dengan kualitas yang sangat baik yang kemudian diolah menjadi salah satu kain unggulan yang sangat berkelas, yaitu kain sutera. Diketahui bahwa ulat sutera merupakan komoditas yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa negara dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri maupun diluar negeri, baik berupa kokon, benang maupun barang jadi yakni kain sutera. Persuteraan alam  merupakan salah satu upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, serta merupakan salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan daya dukung dan produktivitas lahan terutama pada lahan-lahan yang belum optomal dimanfaatkan. Keberhasilan budidaya ulat sutera sangat bergantung pada kondisi tanaman murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutera. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup, ulat sutera tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini tentu akan berpengaruh pada jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan.

Ulat sutera merupakan famili Bombycidae yang memiliki siklus hidup metamorfosa sempurna mulai dari larva, pupa, sampai dengan kupu-kupu. Telurnya berbentuk bulat lonjong, dengan panjang ±1,3 mm, lebarnya 1 mm, dan tebalnya 0,5 mm berwarna putih kekuning-kuningan. Telur ulat sutera biasanya menetas dalam 10 hari setelah perlakuakn khusus pada suhu 25 °C dan kelembaban udara 80 – 85%. Telur ulat diletakan pada tempat yang datar dan disebar secara merata di kotak penetasan. Pada kotak tersebut dipasang kasa/kertas putih tipis. Apabila pada telur tersebut sudah mulai nampak telur yang berwarna transparan dan terlihat titik biru, maka diadakan perlakuan penutupan telur dengan kain berwarna hitam/gelap (umunya 1-2 hari). Tujuan adanya perlakuan penggelapan tersebut agar telur menetas secara merata dan dalam waktu yang relative bersamaan. Setelah 80-90% telur sudah terlihat transparan dan terdapat titik biru, maka kain hitam tersebut dibuka sampai seluruh telur menetas sempurna.

Ulat sutera memiliki 5 intisar, yaitu ulat kecil (intisar I, II, dan III) dan ulat besar (intisar IV dan V). Ulat kecil berumur ±12 hari membutuhkan pemeliharaan yang intensif baik dari kelembapan maupun temperatur ruangan, ulat kecil mampu tahan pada suhu 28 – 30 °C dan kelembaban udara 90 – 95%. Ulat yang baru keluar dari telur kelihatan kecil kehitam-hitaman atau coklat gelap dengan kepala besar, serta badannya masih tertutup rambut. Pada fase ini ulat sudah bisa diberi makan irisan tipis daun murbei muda. Pada hari kedua, tubuhnya menjadi gemuk, warnanya kehijau-hijauan dan rambutnya seolah-olah rontok. Setelah itu, ulat akan berhenti makan untuk memasuki masa istirahat dan diakhiri dengan pergantian kulit. Fase diatas disebut dengan instar I. Setelah berganti kulit, larva ulat mulai memasuki instar II dan selanjutnya memasuki instar III yang biasanya didahului masa istirahat dan berganti kulit. Lama tiap instar tidak sama, pada umumnya masa yang terpendek ialah instar II, I dan III dengan masa istirahat lebih kurang satu hari. Peralihan tiap instar ditandai dengan berhentinya makan (ulat istirahat) dan terjadinya pergantian kulit.

Ulat besar berumur ±13 hari namin pada lokasi dengan kelembaban rendah membuat umur ulat relatif panjang. Dalam fase ini, diperlukan pemeliharaan yang intensif dengan pemberian daun dalam jumlah banyak yang diberikan 4 kali sehari, dengan pemberian pola pakan terus menerus sampai malam hari dapat menaikan produksi kokon sampai dengan  20 – 25%, hal ini karena prosentase daun yang dimakan ulat sutera pada malam hari lebih banyak. Ulat besar membutuhkan suhu antara 23 – 25 °C dengan kelembaban udara antara 70 – 75%. Pada instar IV umur ulat 4 – 5 hari, sedangkan pada instar V umur ulat 6 – 7 hari. Pada akhir instar V sudah tidak terjadi pergantian kulit, tubuh ulat terlihat transparan dan ulat berhenti makan. Setelah fase ulat besar berakhir, ulat akan membentuk kokon (ulat sudah matang).

Periode hidup dari telur menetas hingga proses pembuatan kokon memakan waktu kurang lebih 1 bulan. Selanjutnya, fase pupa terjadi setelah ulat selesai mengeluarkan serat sutera, lama masa pupa ± 12 hari. Pupa jantan memiliki titik pada ruas ke 9, sedangkan pupa betina terdapat tanda silang (x) pada ruas ke 8. Ulat memulai proses pembuatan kokon dengan mengeluarkan serat sutera yang dihasilkan oleh kelenjar sutera (silk gland) yang berada di mulut larva ulat. Pemanenan kokon ulat sutera dilakukan sebelum kupu keluar dari ujung kepompong.

Pemanenan kokon dilakukan 6 – 7 hari setelah terjadi proses pembentukan kokon. Panen kokon yang terlalu awal dapat merusak pupa yang masih muda yang berakibat kokon dapat membusuk dan menimbulkan kokon cacat pintal (inside soiled cocoon). Sebaliknya, jika kokon terlambat dipanen, pupa sudah berubah menjadi kupu-kupu yang akan menerobos kulit kokon, sehingga tidak dapat dipintal pada tahap pemanenan. Selanjutnya, seleksi kokon dilakukan untuk menentukan kualitas kokon dan berpengaruh pada harga kokon. Seleksi ini bertujuan untuk memisahan kokon normal dan kokon cacat (kokon dobel, kokon tipis, kokon berlubang, bentuk tidak normal, kokon pipih, dan kokon kotor). Setelah proses seleksi, kokon dikeringkan dengan cara pengovenan pada suhu 90 °C selama 2 jam, kemudia 75 °C selama 1,5 jam dan suhu 55 °C selama 2,5 jam. Pengeringan kokon dilakukan sampai harus betul-betul kering, sehingga beratnya kira-kira hanya tinggal 40% dari berat kokon basah (fresh cocoon).

Oke selanjutnya kita akan menceritakan sejarah persuteraan di Hutan Wanagama.

Tokoh yang mengusulkan kegiataan persuteraan alam di Wanagama adalah Bapak Soedjarwo dan Bapak Soedarwono, serta tidak lepas dari Ibu Oemi Hani’in Soeseno. Awal mula pengusulan kegiatan ini dengan memelihara ulat sutera dan menanam murbei (Morus sp.) yang berlokasi di petak 5. Daun murbei yang menjadi pakan ulat sutera termasuk dalam tanaman yang cepat dipanen (fast growing species). Ulat sutera pun cepat menghasilkan kokon atau benang ulat sutera yang bernilai tinggi (quick yielding project).

Pelaku pembudidayaan Persuteraan di Wanagama

Berawal dari hibah ulat sutera yang diberikan oleh Dinas Kehutanan, sampai memecahkan masalah lahan kritis di Gunung Kidul. Budidaya 30.000 ekor ulat sutera tersebut memerlukan pakan daun murbei setiap harinya. Masa panen murbei dan pertumbuhan ulat sutera cepat dan pesat. Diawali dengan telur ulat sutera yang menetas setelah 10 hari. Bayi-bayi ulat putih tak berbulu terus- menerus bertumbuh memakan daun murbei selama 22 – 25 hari. Ulat sutera dipelihara diatas nampan-nampan dari anyaman bambu (tampah). Dimasa ini Bapak Soekotjo kewalahan dalam mengurusnya sehingga Ibu Oemi ikut turun tangan mengasuh ulat-ulat yang makan dengan serakah itu.

Ibu Oemi menjadi salah satu penggerak persuteraan di Indonesia

Yang menjadi kebanggan pada Presiden Sukarno, nama Bapak Soedjarwo kian naik karena keberhasilan persuteraan alam yang ada di Wanagama. Hingga bendera merah putih yang dijahit Ibu Fatmawati dibuat dari benang sutera alam yang dipersembahkan Soedjarwo. Sejak saat itu, Wanagama mendapatkan sebutan Cikal Bakal Sutera Alam di Hutan. Dan Wanama juga dikenal dunia sebagai percobaan rehabilitasi lahan dan lingkungan, puncaknya adalah kunjungan Pangeran Charles pada tahun 1989.

Budidaya Ulat Sutera di Wanagama

Namum kejayaan merbei di petak 5 hanya bertahan dari tahun 1968 – 1969. Selanjutnya pembelukaran muali dilakukan, sehingga penanaman murbei sebagai pakan ulat sutera hanya dibatasi hingga akhirnya tanaman murbei tidak lagi dibudidayakan di Wanagama. Hal ini disebabkan soil vertility di Wanagama mengkibatkan tanaman murbei tidak tumbuh secara maksimal. Selanjutnya Bapak Na’iem melakukan riset ulat sutera dengan tujuan mengambangkan ulat sutera di wilayah yang cocok, bahkan ada perusahaan pemintalan di bawah struktur lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (P3BPTH). Sejak tahun 2017 tidak ada lagi pembibitan ulat sutera di Wanagama.

Panen Kokon Ulat Sutera

Kedatangan Raja Charles III di Wanagama (1989)

Tahukah Kamu? Wednesday, 14 September 2022

Halo Sahabat Wanagama!

Sejarah merupakan sebuah jejak peninggalan yang telah diturunkan oleh pendahulu kita untuk diwariskan ke generasi penerusnya. Prof. Oemi Hani’in Suseno dan rekan-rekannya telah meninggalkan sejarah tentang berdirinya Hutan Wanagama I. Berdasarkan Surat Keterangan Diektur Jendral Kehutanan No. 241/Kpts/DJ/I/1982 Hutan Wanagama I diresmikan sebagai hutan pendidikan. Pada tahun itulah Hutan Pendidikan Wanagama I menjadi perhatian publik karena telah berhasih menghijaukan lahan kritis yang berlokasi di Gunung Kidul. Termasuk menarik perhatian salah satu tokoh Kerajaan Inggris, Raja Charles III.

(Potret Wanagama Tahun 1966)

(Potret Wanagama Tahun 2020)

Raja Charles III merupakan tokoh dunia pertama yang memijakan kaki di Wanagama. Tepatnya pada 5 November 1989. Kedatangan Raja Charles III ke Yoogyakarta di temani oleh Lady Diana, namun Raja Charles III berangkat sendirian didampingi Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim ke Hutan Wanagama. Saat dijamu di Asrama Cendana, Raja Charles III mendapat penjelasan tentang sejarah Wanagama dari Prof. Oemi Hani’in Suseno yang dibantu oleh Ahmad Sumitro (Dekan Fakultas Kehutanan pada masa itu) dan Prof. Sambas Sabarnurdin (menjabat Pembantu Dekan II pada masa itu).

(Raja Charles III, dijamu di Asrama Cendana)

Selain di Asrama Cendana, Raja Charles III menyempatkan mendaki Buit Hell yang berlokasi di belakang Asrama Cendana.  Rute ini yang kemudian menjadi salah satu daya tarik masyarakat yang berkunjung ke Hutan Wanagama. Prof. Mohammad Naiem, dalam buku “Wanagama : Kisah Terciptanya Hutan Pendidikan, Konservasi, dan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Bagi Rakyat Sekitar” menyampaikan ada statmen Raja Charles III yang penting dan menarik, yaitu “Kondisi lahan seperti apapun, sebenarnya tetap bisa dipulihkan dengan catatan memenuhi lima hal, 3 hal penting diantaranya adalah Komitmen, Kerja Keras, dan Kontinuitas”.

(Raja Charles III berjalan-jalan ke Bukit Hell didampingi Prof Oemi Hani’in Suseno dan Menteri Lingkngan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim)

(Pangeran Charles bejalan dengan Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Emil Salim)

Raja Charles III yang didampingi Prof. Dr. Emil Salim juga melakukan penanaman pohon Jati di Petak 17 yang kemudian dikenal masyarakat dengan nama “Jati Londo”.Usai jati ditanam, sejumlah kisah simpang siur di kalangan masyarakat. Sejumlah karyawan menemukan pohon jati yang ditanam Raja Charles III mati sebelum bertumbuh tinggi. Masyarakat menghubungkan dengan kabar keretakan rumah tangga Raja Charles III dan mendiang Lady Diana. Tersirat kabar kematian pohon jati yang ditanam Raja Charles III bersamaan dengan meninggalnya mendiang Lady Diana.

(Raja Charles III menanam jati di petak 17 didampingi Prof Oemi Hani’in Suseno dan Menteri Lingkngan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim)

(Raja Charles III menanam jati di petak 17 didampingi Prof Oemi Hani’in Suseno dan Menteri Lingkngan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim)

 

 

Tanaman Pionir, Si Pembangun Yang Kuat

Tahukah Kamu? Wednesday, 20 April 2022

Halo Sahabat Wanagama!

Hari ini kita akan membahas tentang Tanaman Pionir yang menjadi permulaan dari terbentuknya Hutan Wanagama! Ada yang tahu apa itu tanaman pionir? Apa fungsi tanaman pionir? Bagaimana sejarah pertumbuhan tanaman pioneer di Wanagama? Yuk simak dibawah ini

Sebelumnya kita jelaskan dulu apa itu tanaman pionir!

Tumbuhan Pionir merupakan kelompok tumbuhan yang pertama kali tumbuh pada lahan yang ekstrim yaitu pada lahan yang telah mengalami degradasi atau kerusakan. Menurut Jufri dan Wahyuni (2017) tumbuhan pionir merupakan tumbuhan yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang terganggu. Salah satunya keistimewaan dari tanaman ini, yaitu mampu berasosiasi dengan kelompok bakteri yang ditemukan pada bagian perakaran tanaman yang disebut dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria atau dikelan dengan PGPR. Kelompok PGPR ini memiliki kemampuan menghasilakn fitohormon, memobilisasi unsur hara, dan mengendalikan patogen (Kurniahu, dkk., 2017)

Jenis tanaman pionir memegang peran yang sangat vital dalam mengembalikan kondisi suaru ekosistem. Hal ini dikarenakan kemampuan tumbuhan-tumbuhan tersebut untuk tumbuh pada kondisi lingkungan yang kurang mendukung bagi tumbuhan lain (Edward dan Rasoel, 2011). Fungsi tanaman pionir pada lahan yang terganggu adalah membantu meningkatkan kesuburan tanah karena mengeluarkan eksudat akar yang mampu menarik PGPR, dan mencegah erosi karena system perakarannya mampu menahan tanah dari gerusan air (Septiani, dkk., 2015).

Tumbuhan-tumbuhan pionir di area yang mengalami kerusakan tidak lepas dari adanya proses suksesi. Secara singkat, suksesi adalah suatu perubahan komposisi jenis tumbuhan yang kumulatif dan searah dan terjadi pada suatu wilayah tertentu. Tumbuhan pionir yang mengawali suatu ekosistem tidak hanya ada satu jenis saja namun terdapat bermacam-macam jenis tumbuhan yang bisa dikatakan sebagai tumbuhan pionir, tumbuhan pionir sendiri ada yang berupa tumbuhan Bryophyta (lumut), Pteridophyta (paku-pakuan), dan Spermatophyta (tumbuhan berbiji) (Jayadi,2015).

Oke, mari kita bahas tentang tanaman pionir yang ada di Wanagama!

Gunungkidul termasuk dalam zona Pegunungan Sewu yang didominasi dengan karst. Wanagama sendiri dijuluki dengan “Batu Bertanah”, karena lapisan tanah paling tebal hanya setebal 1 meter. Tetapi mayoritas tanah tipis tidak lebih dari 30 cm. Wanagama menjadi kasus langka di Indonesia karena menjadi percontohan proyek sukses pembangunan di lahan rusak. Lahan tandus di Petak 5, yang semula tertumpuk banyak batu, kini menjadi area dengan tegakan pohon paling lebat diantara petak-petak lain di Wanagama. Disinilah tanaman pionir bekerja dengan keras untuk membentuk vegetasi yang mampu menjadi perintis bagi tanaman-tanaman lain. Pembangunan Wanagama dilakukan dengan pendekatan suksesi vegetasi karena lahan rusak tidak mungkin bisa langsung ditanami dengan aneka jenis pohon hutan. Tanaman pionir harus tumbuh lebih dahulu.

 

 

Vegetasi pertama yang ditanam di Petak 5 adalah tanaman-tanaman pionir yang bisa menghasilkan lapisan solum untuk pembentukan lapisan tanah baru. Tanaman pionir yang dikembangkan harus mampu cepat bertumbuh di lahan rusak, meski tidak akan hidup lama. Gamal dan lamtoro adalah contoh utama tanaman pionir di Petak 5.

 

Gamal

Lamtoro

 

Penanaman tumbuhan pionir merupakan tahap awal. Selanjutnya, metode suksesi vegetasi baru diterapkan. Tanaman-tanaman baru, seperti jati, akasia, mahoni, dan lainnya ditanam pada fase kedua untuk menggantikan tanaman pionir. Proses suksesi vegetasi ini akan terus berlanjut hungga terbentuk hutan yang klimaks. Saat ini, vegetasi di Wanagama masih relative seragam, bahkan di Petak 5 sekalipun. Walaupun tegakan pohon di Petak 5 sudah jauh lebih rapat dibandingkan dengan petak-petak lain, suksesi vegetasi di areal itu belum tuntas karena keberadaan gamal dan akasia masih dominan. Untuk mengurangi monokultur yang ada, mulai ditanami dengan pulai. Berbeda dengan petak 5 dan 6 yang membutuhkan pionir, petak-petak lain cenderung memiliki solum yang tebal sehingga pada awal pembentukan hutan mampu langsung ditanami beragam jenis pohon hutan, seperti jati, eukaliptus, mahoni, akasia, dan lainnya.

Universitas Gadjah Mada

KHDTK Wanagama I

Universitas Gadjah Mada

Jl. Agro No.1 Bulaksumur Yogyakarta 55281

Kantor Wanagama Gedung IFFLC Lantai 7

Telp: +62 85333858596

Email: wanagama@ugm.ac.id

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=PN6hdb15LSY[/embedyt]

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY